Sastra, Manusia, dan Kehidupan*


oleh Julia Hartini**

Sastra, apa itu sastra? Sastra adalah suatu karya seni yang bermediakan bahasa. Suatu definisi yang sangat mudah bila dijabarkan. Namun ada yang menjagal di pikiran saya. Suatu malam, selesai saya membaca buku Perahu Kertas yang ditulis oleh Dewi Lestari saya berfikir apa gunanya sastra? Sekarang saya masuk jurusan sastra dan selalu bersentuhan dengan sastra lalu apakah langkah selanjutnya setelah sastra saya kuasai. Hal yang menurut saya tidak perlu dijawab  tapi perlu direnungkan bukan hanya untuk saya, tapi untuk semua manusia yang sedang menjalani kehidupan.
 Suatu pertanyaan yang semakin lama menjamur menjadi pertanyaan yang utuh. Apa itu sastra dan apa gunanya sastra dalam kehidupan, mengingat sekarang sudah menginjak zaman yang modern, bukan lagi zaman yang dibanjiri oleh sastra lisan. Banyak bidang-bidang lain yang lebih menjamin kehidupan dibanding sastra seperti teknik, sains, informatika, dan masih banyak lagi. Lalu bagaimana posisi sastra dengan bidang-bidang lain yang lebih terjamin dan mungkin lebih menarik di pandangan kaum mayoritas.
Setelah saya berkontemplasi cukup lama ada hal-hal yang saya mengerti tentang sastra, manusia, dan kehidupan. Kehidupan modern ini tidak akan pernah terbentuk tanpa adanya sastra. Sastra banyak mengajarkan banyak hal, seperti kearifan lokal, sikap hidup, cara pandang, dan kejujuran. Banyak kearifan lokal yang terlahir karena sastra contohnya nyanyian kelonan (Lulaby) orang sunda yang berjudul Nimang. Dalam nyanyian kelonan tersebut ada amanat yang tersimpan seperti sesudah dewasa kita harus membahagiakan ibu dan ayah.
Tidak hanya itu, permainan anak tardisional pun membentuk bangsa yang berkarakter. Bisa kita lihat pada tradisi masyarakat (folklor) permainan anak seperti ucing-ucingan, ular tangga, dan sondakh. Dalam permainan tersebut seorang anak akan mengerti bagaimana mengalah, berinteraksi terhadap teman sepermainannya juga lingkungannya. Seorang anak akan aktif dan pintar bergaul dan berfikir cepat. Berbeda dengan anak yang sering bermain game di komputer, mereka hanya berinteraksi dengan komputer dan tidak membentuk suatu interaksi. Dia mungkin lebih sulit atau lebih pasif ketika bergaul di banding seorang anak yang terbiasa bermain permainan anak-anak. Inilah kelebihan sastra denga bidang tekhnologi. Saya tidak bermaksud membandingkan keduanya. Tapi inilah contoh nyata yang bisa saya ungkapkan,
Bukan hanya itu, saya merasa miris ketika melihat, mendengarkan bahkan merasakan bagaimana adanya diskriminasi antara pelajaran sastra dengan bidang lain. Ketika saya masih menjadi siswa, pelajaran bahasa Indonesia hanya sebatas menghafal, mengarang, kemudian ada di Ujian Nasional lalu setelah itu selesai. Entah ada yang salah dalam pelajaran bahasa Indonesia ataukah seorang guru yang tidak tahu caranya mengajar. Itu menyebabkan nilai Ujian Nasional menjadi lebih buruk dibanding Bahasa Asing dan membuat seorang siswa tidak suka pelajaran Bahasa Indonesia bahkan selama hidupnya.
Saya berfikir, ada yang kurang dalam Bahasa Indonesia yaitu sastra. Ketika sastra dan bahasa berjalan beriringan dan seimbang, maka itu akan membuat seorang manusia menyukai keduanya. Seorang anak tidak akan lagi malas jika ada tugas mengarang karena seorang anak akan berapresiasi dan mengerjakan hal-hal positif, missal membaca, menulis puisi atau prosa bahkan berteater serta membacakan puisi. Itu adalah hal yang lebih menarik di banding tawuran.
Sastra, manusia dan kehidupan adalah sesuatu yang melekat pada diri kita. Selamat bersastra, selamat berapresiasi !








*Judul esai sastra untuk mengikuti lomba menulis flp
**Nama penulis esai dengan judul Sastra, Manusia, dan Kehidupan.


catatan : esai ini menjadi juara kedua dalam lomba internal Kuliah Kepenulisan FLP Bandung tanggal 22 Januari 2012

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer