Ranah 3 Warna

Resensi
RANAH 3 WARNA
Oleh Julia Hartini

Penulis             : A. Fuadi                                            Kota terbit       : Jakarta
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama            Harga              : Rp 65.000    
Terbit               : Januari 2011                                      halaman           : xiii + 473                                          
Man Shabara Zhafira
 (siapa yang bersabar akan beruntungDi tengah hidup yang 
terus digelung nestapa,
Rupanya  “mantra”  Man jadda wajadda tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif pun teringat “mantra” Man Shabara Zhafira, siapa yang bersabar
akan beruntung. Dengan kedua mantra itu, dia songsong badai hidup. Bisakah dia memenangkan impiannya?

Pernahkah anda mempunyai impian besar dalam hidup? Berusaha dan berdoa adalah kunci kesuksesan untuk mewujudkannya. Novel ini menceritaan tentang hidup yang berawal dari mimpi, Alif adalah anak Pesantren Pondok Madani yang berani mengikuti tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) agar masuk Perguruan Tinggi Negeri. Usahanya sangat serius, ditemani keajaiban “Man jadda wajadda”, ini membuahkan hasil yang membuat orangtua Alif  bangga. Alif masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Bandung dengan jurusan Hubungan Internasional.
            Dengan bekal yang diberi orang tuanya dan sepasang sepatu hitam pemberian ayahnya, Alif  berangkat dari Maninjau ke Bandung dan menginap dengan kawan kecilnya yang bernama Randai di tempat kost daerah tempatnya berkuliah.
Dunia tulis menulis, membuat Alif terkenal di kampusnya. Suatu hari, Alif dikabarkan Amaknya di Maninjau untuk segera pulang, Alif pun langsung membereskan keperluannya berangkat ke Maninjau dengan meminjam uang dari Randai.
Setelah beberapa hari di Maninjau, Alif memutuskan untuk kembali ke Bandung karena telah menjenguk ayahnya yang sedang sakit, namun Tuhan berkehendak lain. Ayah Alif meninggal dunia, ini membuat Alif terpukul. Namun ia segera bangkit dan kembali ke Bandung, setelah beberapa hari berada di Maninjau
Semakin hari, keuangan Alif semakin tipis, itu membuat Alif kalang kabut dan berusaha semampunya, temasuk menjadi pedagang kain, parfum dan guru privat. Itu semua tidak berhasil dan ia memutuskan untuk kembali pada dunia tulis menulis.
Impiannya ke Luar Negeri semakin menggebu-gebu, dan tiba saatnya pada saat dia mengikuti beasiswa ke Luar Negeri. Ia mengeluarkan segala kemampuan untuk bisa berangkat ke Kanada.  Ia pun terpilih berangkat ke Kanada bersama teman-temannya dari Indonesia termasuk Raisa gadis yang telah mencuri hatinya.
Diam-diam Alif ingin mencurahkan isi hatinya pada Raisa sebelum pulang ke Indonesia, namun ia tidak berani mengungkapkanya. Dan tiba saatnya ia diwisuda bersamaan dengan Raisa, di saat itulah ia ingin mengatakan semuanya. Namun, Raisa ternyata akan bertunangan dengan Randai kawan Alif sewaktu kecil.
Untuk  seseorang yang belum membaca novel pertama yang berjudul  Negeri 5 menara,  kesulitan akan muncul untuk mencerna bagian awal dari novel ini, karena novel ini merupakan bagian kedua dari trilogi negeri 5 menara..
Buku ini merupakan novel fiksi,  yang tidak kalah menarik dengan novel pertama yang berjudul Negeri 5 Menara karena isi dalam buku ini mampu meliarkan inspirasi pembaca seakan-akan melihat peristiwa dan tempat yang diceritakan pada novel ini secara mendetail. Kerenyahan dalam mengungkapkan bahasa yang digunakan membuat isi dari novel ini mudah dipahami.
Mempunyai amanat baik tersurat maupun tersirat dalam setiap kejadian yang diceritakan dalam novel ini, mengajarkan kita untuk tidak meyerah dalam mengarungi kehidupan, karena selalu ada hal yang membahagiakan setelah kepahitan.
“Setelah suatu masalah selesai pasti ada masalah yang muncul sesudahnya” begitulah novel ini meramu alur cerita sehingga mempunyai daya tarik dalam konflik. Konflik yang di luar dugaan dan cara penyelesaian yang sulit ditebak membuat pembaca penasaran.
Rasa penasaran berlanjut pada bagian akhir dalam buku ini, ada sosok rahasia yang belum diceritakan dalam buku ini. Dan akan tetap menjadi rahasia jika tidak membaca kelanjutan dari buku ini.


Catatan: Resensi ini pernah dimuat di Buletin Peniti 229, Edisi Maret 2011



Komentar

Postingan Populer