Upaya Transformasi Teks Epos Mahabharata



Ini bukan tulisan yang sengaja ditulis sebagai penelitian mendalam. Mengapa demikian? penelitian memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan sesuatu ke permukaan, sedangkan saya memosisikan diri sebagai pembaca dan penonton mahabharata. Saya menulis tentang ini karena serial mahabharata sudah tamat beberapa hari lalu. Biasanya saya dan keluarga serta “....” menunggu-nunggu film ini sampai pukul 09.00 malam, tapi hari ini saya tak bisa lagi menunggu serial mahabharata. Meskipun saya sudah tahu jalan cerita mahabharata karena sudah beberapa buku dibaca yang berkaitan dengan epos tersebut (hal ini terjadi karena kakak saya sedang meneliti  pewayangan dalam teks sastra, sehingga dia banyak membeli buku tersebut. Tapi dia tak punya waktu buat membaca. Alhasil buku-bukunya menganggur dan dia malah menyuruh saya secara tidak langsung untuk membaca buku tersebut lalu saya akan bercerita isi bukunya dan kita berdiskusi. Hampir setiap hari kami membahas epos wayang ini-red) namun tetap saja saya harus melihat visualisasi  teks tersebut. Hal itu akan memudahkan saya mengingat jalan cerita (ditambah pemerannya ganteng-ganteng, hehe).
Di kala teks epos mahabharata dikatakan sebagai hasil dari sastra kuno yang mendunia dan lahir sejak ribuan tahun lalu, hal ini membuat tidak banyak orang tahu bagaimana lika-liku perjalanan mahabharata yang menekankan sisi kebajikan dalam kehidupan. Teks mahabharata memang kental mengajarkan baik benar, buruk salah. Kiranya, sebagai penonton setia mahabharata kita sering mendengar diksi “kebenaran” hal itu terjadi karena memang teks ini dutulis oleh walmiki dan/atau wiyasa untuk mengajarkan sisi kehidupan bagi manusia. Memang, dalam serial filmnya, banyak hal-hal yang tidak diceritakan. Misalnya setelah perang baratayudha, tidak ada kelanjutannya (koreksi jika saya salah, karena saya memang tidak menemukan episode saat parikesit sudah menjadi raja baik di stasiun tv maupun di youtube)padahal setelah itu perjalanan kisah ini memang panjang. Bercerita menyoal Khrisna yang menerima kutukan dari Gandhari dan Kematian para Pandawa beserta istrinya Drupadi saat menaiki gunung. Lalu berlanjut saat Yudistira berada di Surga.
Sepengetahuan saya tentang teori transformasi ( saya memakai pembahasan transformasi karena cukup mengerti) saat pemindahan media misalnya dalam hal ini dari teks ke visual memang sah-sah saja ketika ada penciutan maupun pelebaran cerita., asal makna jangan sampai berubah. Saya kira ada pemotongan cerita. Bagi saya, film mahabharata memang menekankan pada perang baratayudha, sehingga setelah perang terjadi, tak masalah cerita laiinya dipotong. Mengapa menekankan pada peristiwa Baratayudha? Kelicikan Sangkuni dan kecerdasan Khrisna telah membuat perang ini terjadi, jika penonton teliti melihat adegan saat Sangkuni dan Khrisna berbincang di padang kurusetra tiga hari sebelum perang terjadi , keduanya mengakui bahwa baratayudha terjadi karena dikendalikan oleh keduanya. Krishna ada di pihak pandawa dan Sangkuni ada di pihak korawa.

Menyoal Pop Culture
Inilah  yang saya suka dari budaya pop, ramai dibicarakan (bahkan saat episode terakhir Mahbharata, film ini menjadi trending topic di twitter, ini adalah hasil pengamatan saya), namun sayangnya ada kelemahan yaitu cepat terlupakan. Tapi saya akan bahas tentang energi positif film ini. Wayang (Dalam hal ini  kisah Mahabharata-red) adalah istilah yang diketahui banyak orang di Indonesia. Namun, sayangnya saya tidak bisa memastikan kisah Mahabharata yang mengajarkan kebajikan diketahui banyak orang. Namun, melalui film yang berepisode 300-an  (kalo tidak salah-red) sebagian masyarakat Indonesia dapat melihat epos yang sangat memukau ini.
Ketika pertunjukan wayang yang biasa dimainkan dalang tidak lagi bisa dimengerti oleh generasi baik muda maupun tua karena berbagai hal dari bahasa, dana, minat dll, kiranya visualisasi yang digunakan menggunakan ragam teknologi bisa dijadikan pilihan sebagai salah satu jalan keluar. Kendati demikian, kita harus tetap memikirkan cara agar pertunjukan wayang yang “kadang-kadang” ada terus berjalan dengan baik.
Upaya memfilmkan epos dari India ini, perlu kita apresiasi karena sebagai epos tua, kisah mahabharata ini banyak memberi tahu hal-hal yang begitu menakjubkan. Misalnya saya akan bahas dari segi bahasa. Bahasa percakapannya menggunakan bahasa yang puitis tapi jauh dari kata lebay. Misalnya yang saya ingat saat Krisna menggambarkan tentang ambisi Karna. Lihat penggalan percakapan berikut:
“Dia bagaikan ikan tawar yang ingin hidup di laut.”
Percakapan itu ia ucapkan saat berbicara soal Karna, seorang anak kusir yang ingin jadi ksatria. Arti dari ucapan itu adalah. Ikan tawar hanya akan berada di air tawar begitupun ikan laut hanya bisa bertahan di laut. Maksudnya adalah, seseorang tidak selalu bisa memenangkan apa yang ia inginkan dan ambisikan. Misalnya, manusia tidak pernah bisa terbang seperti burung, dia hanya bisa berjalan dan berenang.
Selain kata-katanya yang banyak menggunakan metafor (yang mungkin akan sulit dicerna oleh para penonton), tentu banyak makna yang harus diterjemahkan oleh penonton. Serial ini memberikan kesempatan bagi penonton Indonesia untuk berpikir kritis. Film mahabharata membantu masyarakat kita soal sejarah, politik kerajaan, perjuangan atas nama kebenaran.

Itu saja ya yang saya ceritakan ya. Saya mau ngetik yang lain dulu, hehe. Itu energi positif yang bisa saya bagi. Banyak energi negatif yang belum saya utarakan. Oleh karena itu, mari kita renungi dan mencari solusi tentang masalah ini! sekian 

Komentar

Postingan Populer