Pasung Jiwa, Sebuah Kebebasan yang Diperjuangkan
Judul Buku : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Halaman :
328 Halaman
Tahun Terbit : Mei 2013
ISBN : 978-979-22-9669-3
Harga : Rp. 55.000
ISBN : 978-979-22-9669-3
Harga : Rp. 55.000
oleh Julia Hartini
Pernahkah anda membayangkan bebas melakukan apapun, tanpa
memikirkan norma-norma yang berakar di masyarakat tempat anda tinggal? Atau malah
sebaliknya, anda terlalu sibuk dengan aturan-aturan yang membuat diri anda
terpasung dalam tubuh sendiri? Beberapa pertanyaan tersebut berbicara soal pemikiran yang melahirkan
tindakan pribadi.
Lalu bagaimanakah jika anda merasa sebagai berikut : Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku
adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal .
kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah
jebakan-jebakan yang tertera di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku,
mengurungku, tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh
tahun usiaku (Madasari, 2013: 9.)
Berbicara
kebebasan, Okky Madasari membuka cerita dengan pernyataan-pernyataan yang tak biasa. Cukup
berbeda dengan novel-novel sebelumnya, di mana Okky kerap menonjolkan realitas
sosial dalam kekaryaannya, kali ini novel Pasung
Jiwa kental akan psikologi tokoh yang dihadirkan.
Cerita berawal dari kisah seorang laki-laki bernama Sasana yang terperangkap dalam tubuhnya sendiri, bahkan sejak Ia masih di kandungan. Tak ada
yang biasa Ia dengar kecuali denting piano. Kelak ketika Sasana lahir, kedua
orang tua Sasana memaksanya untuk memainkan piano.
Ia pun menuruti
semua kemauan orangtuanya untuk memainkan Piano dan memilih menjadi anak yang
cerdas, demi orang tuanya pula, bukan untuk untuk dirinya sendiri. Keluar dari
tubuhnya adalah sebuah jawaban, Gejolak itu pun semakin dasyat, saat Sasana
menikmati Musik Dangdut tanpa sengaja. Ia merasa inilah yang Ia cari, kebebasan
dan bergoyang bersama Dangdut bukan
dengan musik yang menurutnya terlalu tua, musik klasik.
Gairah semakin terlihat. Sasana kerap ikut bergoyang ketika dangdut dimainkan. Dangdutlah yang mengajarkan arti kebebasan menurutnya. Tapi
itu tak berlangsung lama, Sasana dimarahi orang tuanya karena menyukai jenis
musik yang seperti itu. Namun, Ia tak memedulikan perkataan orangtuanya, secara
diam-diam Sasana menikmati dangdut lewat radio milik pembantunya. Di dalam kamar, Ia merasa bebas dan bisa
bergoyang sepuasnya. Selama masa pencarian jiwa, Sasana mempunyai adik bernama
Melati, Ia sempat sirik karena melihat tubuh melati, cantik dan lucu
mencerminkan keindahan dan seni, sementara yang Sasana miliki begitu
membosankan .
Hidup di tengah-tengah perangkap tubuhnya sendiri, Sasana
merasa tak nyaman. Ia terbelenggu tubuh sendiri, begitu menyakitkan. Kisah berlanjut ketika dirinya lulus sekolah dan meneruskan ke Malang.
Inilah kebebasan yang sedang diperjuangkan Sasana. Di Malang, Ia bertemu dengan
Jaka Wani yang biasa disebut Cak Jek. Cak Jek yang membuka siapa Sasana
sebenarnya. Ia seolah mendukung kepribadian Sasana yang menurut orang normal
menyimpang, kemudian lahirlah Sasa, bagian keprbadian yang lain.
Sasana sudah tak lagi kuliah, Ia bersama Cak Jek mengamen
dari tempat ke tempat di jalanan, hingga akhirnya mereka sudah mendapatkan
ngamen ditempat hajatan. Mereka menyukai kebebasan mereka, mengamen dan menjadi
diri sendiri. Tak ada lagi yang terpasung. Meski kerap sekelilingnya menganggap
Sasana aneh, karena menjadi bencong.
Namun, kebebasan itu tak berlangsung lama. Saat mereka bersama kawan
lainnya berdemo memperjuangkan hak Marsini, seorang buruh yang hilang entah
kemana. Demo itu membuat Sasana dipenjara, disiksa, bahkan diperkosa
oleh sesama jenis. Hingga akhirnya Ia terlempar ke rumah sakit Jiwa dan
berpisah dengan Cak Jek.
Di sana Sasana menemukan jati dirinya. Di Rumah sakit Jiwa, Sasana
berada di antara orang yang dianggap gila karena perilaku yang menyimpang,
termasuk dirinya. Padahal Sasana sadar benar apa yang dilakukan tentunya untuk
arti kebebasan. Bersama-sama dengan orang gila Ia pun tak ingin seluruh
hidupnya habis ditempat itu. Ia melarikan diri bersama kawannya yang lain. Di
luar sana Ia menjadi Sasa, bernyanyi sepuasnya, meski pikiran masih membalut
dirinya.
Mengambil
Setting zaman orde baru, Okky tak sungkan membuka kelakukan para tentara yang mengaku
dirinya pembela negara. Konflik batin tokoh sangat terasa dalam novel ini.
bagaimana Sasana dan Sasa bergulat dalam satu tubuh. Mencari sebuah pencarian
yang bernama kebebasan. Novel ini sangat kental dengan psikologi sastra. Dimana psikologi tokoh sangat kuat adanya. Misalnya, Tokoh yang merasa nyaman dikhayalan itu, karena tak ada aturan yang membuatnya
semakin terpuruk.
“Tak ada jiwa yang
bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. yang
bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan.kalian
semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda.”
(Madasari, 2013: 146).
Kecemasan-kecemasan
yang timbul baik dari jiwa Sasana maupun sasa membuat novel ini begitu hidup.
Membicarakan psikologi memang tak pernah ada habisnya selalu ada konflik tokoh
bukan hanya yang ada dalam luar dirinya, namun dalam dirinya sendiri.
Kecemasa-kecamasan itu yang mengahasilkan rasa tidak betah dalam hidup.
Selalu ada kecemasan-kecemasan yang dialami oleh tokoh
karena terbelenggu dengan pikirannya atau tubuhnya sendiri. Novel ini kental
dengan psikologi sastra dan itu hadir karena adanya aturan-aturan yang dibuat
menjadi sebuah kesepakatan umum masyarakat.
Kembali, Okky memikirkan ketidakadilan yang terjadi
akibat kondisi sosial masyarakat yang ada, disadari atau tidak hal itu sangat
mempengaruhi jiwa seseorang. Ada teka-teki yang dihadirkan penulis di akhir
cerita. yaitu bagaimana kelanjutan Sasana dan Jek Wani dalam mengarungi
kebebasan yang mereka inginkan. Pembaca dibuat penasaran sehingga menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan. Apakah kebebasan sesungguhnya dapat mereka dapatkan dan
mendatangkan kebahagiaan yang mereka inginkan. Di cerita ini Seolah-olah
penulis tidak mau memberikan bagaimana sebenarnya kebebasan yang dimaksud.
Begitulah sastra selalu memberi ruang pembacanya untuk mnginterpretasikan atau
memberi tafsiran dalam sebuah karya. Selamat membaca dan selamat berapresiasi !
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapushihii,, tadi lagi ga ada air, maklum musim kemarau :)
BalasHapustapi bsok aku keramas sama maskerin rambut plus dikasih vitamin ..hha
hahahaa ga skalian k salon aja atuh biar ko'ol
BalasHapus